Setelah mengalami masa jaya lebih dari lima tahun, industri
sepeda kini tak ubahnya pembalap yang nyaris mencapai garis finis,
terengah-engah. Soalnya, sejak Masyarakat Eropa (ME) menuding para produsen
melakukan aksi dumping, produk Indonesia langsung kehilangan daya saing.
Maklum,
tuduhan itu telah menyebabkan negara pengimpor mengambil tindakan dengan
membebani sepeda yang masuk ke negeri mereka dengan bea masuk dan denda berupa
pajak. Jika sebelumnya sepeda Indonesia yang diekspor ke sana bebas dari segala
jenis pajak dan bea, sejak 1994 terkena bea masuk sebesar 11,7% plus denda
sebesar 28,4%.
Akibatnya,
seperti yang terlihat pada statistik penjualan ekspor, penjualan sepeda
Indonesia ke ME menukik tajam. Jika pada 1992 hingga 1995 si roda dua masih terjual
minimal 23 juta unit setahun, tahun lalu merosot hingga tinggal 5,3 juta buah
saja alias turun 77%. Padahal, 14 negara anggota ME ini merupakan pasar sepeda
terbesar bagi Indonesia.
Sebelum
penurunan yang drastis itu terjadi, 75% sepeda ekspor Indonesia dijual ke
negara-negara tersebut. Kini peran ME cuma tinggal 36% dari total ekspor.
Buntut
dari gebrakan ME ini sungguh mudah ditebak. Hanya kurang dari setahun, sejak
tarif ekstra berupa denda dumping ditetapkan, beberapa produsen Ð terutama yang
mengandalkan pasar ekspor langsung kelimpungan. Federal Cycle Mustika (FCM)
misalnya, yang terkenal dengan sepeda Federalnya, mengundurkan diri karena
menganggap bisnis ini tak lagi menguntungkan. Begitupun Toyo Asahi, sejak tahun
lalu sudah hengkang dari arena dagang sepeda. “Sebenarnya, sayang juga
meninggalkan bisnis ini, karena kami memulainya dari nol. Tapi, apa boleh buat,
dengan pajak dan denda sebesar itu, sepeda jadi tak menguntungkan lagi,” kata
Andi Hendrardi, Direktur FCM.
Yang
kecil-kecil tanpa pajak pasti menang. Betul, sejak dihajar sanksi tuduhan
dumping, sepeda buatan FCM tak lagi mampu bersaing dengan sepeda-sepeda
produksi Taiwan dan Italia. Tapi, satu hal yang mengherankan Andi, kenapa
Italia yang menjual produknya di bawah harga jual Federal tidak dikenai sanksi.
Selain itu, FCM juga merasa penasaran dengan tuduhan tersebut. Karena pihaknya
tidak merasa menjual lebih murah daripada harga di pasar lokal.
Di dalam negeri, FCM
menjual sepedanya dengan harga sekitar Rp 150.000
per unit. Ini jelas tak jauh berbeda dengan harga jual ekspornya yang US$ 72. Memang, ada beberapa jenis sepeda yang harganya sangat mahal. Tapi, itu lantaran kelasnya jauh lebih tinggi ketimbang yang diekspor. Model Competition, misalnya, dijual dengan harga Rp 1,25 juta.
per unit. Ini jelas tak jauh berbeda dengan harga jual ekspornya yang US$ 72. Memang, ada beberapa jenis sepeda yang harganya sangat mahal. Tapi, itu lantaran kelasnya jauh lebih tinggi ketimbang yang diekspor. Model Competition, misalnya, dijual dengan harga Rp 1,25 juta.
Kini,
karena tak mampu lagi bersaing, FCM bertekad untuk keluar dari ajang bisnis
sepeda. Bahkan, beberapa mesin pencetak rangkanya telah ditawar PT Wijaya
Indonesia Makmur (produsen sepeda WIM). Jadi tak berbeda dengan nasib produsen
sepeda di Malaysia dan Taiwan. Mereka juga, gara-gara sanksi dumping, terpaksa
melego mesin-mesin produksinya ke Vietnam dan Srilangka.
Tekad
untuk mundur ini tampaknya sudah bulat benar. Kendati pemerintah (terutama
BKPM), menurut Andi, berusaha membujuk FCM untuk tetap bertahan. Soalnya, bukan
cuma di pasar ekspor industri sepeda kena gebuk. Di pasar domestik pun nasibnya
tak lebih baik. Lihat saja buktinya. Di dalam negeri, FCM tidak hanya bersaing
dengan sesama produsen besar, tapi juga harus berhadapan dengan bengkel-bengkel
kecil dan toko-toko yang melakukan perakitan sendiri. “Yang kecil-kecil itu
pasti mampu mengalahkan kami, karena mereka tidak membayar PPN yang 10%,” kata
Andi.
Bagi
FCM, menutup warung sepeda bukan masalah besar. Soalnya, dulu mereka terjun ke
bisnis ini juga lantaran terdesak keadaan. Waktu itu, tahun 1986, pasar sepeda
motor sedang berada pada titik terendah. Tak terkecuali penjualan Honda yang
diproduksi Federal. Nah, untuk menghindari PHK atas 500 karyawannya, produsen
sepeda motor ini melakukan diversifikasi usaha dengan memproduksi sepeda.
Ternyata sukses. Hanya
dalam waktu dua tahun sepeda buatannya langsung
populer di kalangan konsumen. Ini berkat gencarnya promosi yang dilakukannya, yang menghabiskan biaya sampai Rp 2 miliar setahun. Sekarang, ketika langkah si roda dua dihambat sanksi dumping, FCM “dengan senang hati” mundur dari percaturan bisnis. Apalagi, pasar sepeda motor kini sedang marak, sehingga 500-an karyawan dari pabrik sepeda kembali termanfaatkan. “Jadi, kami memang sudah sibuk. Dan, yang penting, tidak usah serakahlah,” kata Andi.
populer di kalangan konsumen. Ini berkat gencarnya promosi yang dilakukannya, yang menghabiskan biaya sampai Rp 2 miliar setahun. Sekarang, ketika langkah si roda dua dihambat sanksi dumping, FCM “dengan senang hati” mundur dari percaturan bisnis. Apalagi, pasar sepeda motor kini sedang marak, sehingga 500-an karyawan dari pabrik sepeda kembali termanfaatkan. “Jadi, kami memang sudah sibuk. Dan, yang penting, tidak usah serakahlah,” kata Andi.
Pasar
lokal sebenarnya masih terbuka lebar Jika FCM bisa dengan mudah membanting
setir, lantas bagaimana dengan nasib 200-an karyawan Toyo Asahi? Wallahualam.
Yang jelas, beberapa produsen eksportir berusaha mengalihkan pasar mereka dari
terkaman sanksi dumping ME. PT Jawa Perdana, misalnya, kini telah memperoleh
pasar pengganti, yakni Jepang. Sedangkan WIM, terlihat sedang berkutat
menggarap pasar dalam negeri untuk menggantikan posisi yang ditinggalkan Federal.
Pasar domestik sendiri, sebenarnya, masih sangat luas untuk digarap. Menurut
Andi, populasi sepeda di Indonesia saat ini baru 1:12. Jadi masih jauh di bawah
Cina yang populasinya mencapai 1:3,4 atau Belanda yang 1:1,05.
Tapi,
pengalihan pasar itu tidak menggambarkan eksportir Indonesia menyerah pada
tuduhan ME. “Kami sudah meminta agar ME meninjau kembali tuduhan dumpingnya,”
kata Prihadi, Ketua AIPI (Asosiasi Industri Persepedaan Indonesia). Selain
mengajukan protes langsung ke ME, AIPI juga telah mengadukan penderitaannya
pada Komisi Anti-Dumping Indonesia (KADI) Hasilnya? Kita lihat nanti. Yang
jelas, pihak KADI sendiri tak tinggal diam. Mereka kini tengah mengumpulkan
fakta untuk membuktikan kebenaran tuduhan ME. “Kalau kelak terbukti tuduhan itu
tidak benar, kami akan meminta agar ME meninjau kembali keputusannya,” kata
Taufiek Abbas, Wakil Ketua KADI.
oleh: Budi Kusumah,
Hendrika Y, Marga Raharja
sumber: http://www.hamline.edu/
sumber: http://www.hamline.edu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar